Kamis, 01 Maret 2018


Jakarta, kantindata.com - Rangkaian kegiatan pilkada serentak tahun 2018 sudah mulai berjalan, dari 171 daerah yang mendapatkan giliran pilkada, terdapat 12 daerah yang memiliki pasangan calon tunggal, dan 11 dari 12 daerah tersebut ialah pasangan petahana.

Alwan Ola, Manajer Pendidikan Pemilih JPPR mengungkapkan bahwa Fenomena Pasangan Calon (Paslon) tunggal merupakan kemunduran demokrasi dalam pemilu. Menurutnya, Sebagai negara multi partai, pasangan calon tunggal mustahil terjadi apabila partai melakukan kaderisasi secara optimal. selain itu, ambang batas pencalonan yang terlalu berat untuk dijalankan oleh partai-partai politik menimbulkan dinamika politik lokal yang tidak berimbang, hal ini dikhawatirkan akan menurunkan tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada.

"Kondisi politik lokal menjadi tidak dinamis, karena tidak ada persaingan pasangan calon, ditambah lagi dengan tumbuhnya padangan masyarakat yang menyatakan bahwa biaya politik yang tinggi," ungkap Alwan.

Alwan menjelaskan, sejauh ini masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya pasangan calon tunggal, bahkan pasangan tersebut merupakan petahana, semestinya anggaran digunakan untuk membangun daerah, ketimbang mengadakan pilkada. Anggapan masyarakat seperti ini tidak boleh berkembang seiring dengan perkembangan demokrasi.

"Kesadaran bahwa pasangan calon tunggal tidak pasti menduduki kepala daerah harus terus disosialisasikan seiring dengan pilihan yang telah disediakan, apakah masyarakat setuju atau tidak setuju terhadap pasangan calon," jelas Alwan.

Alwan menambahkan, Kesadaran bahwa ketidaksetujuan masyarakat terhadap pasangan calon merupakan pilihan yang sah, mengingat pilihan itu disediakan dalam mekanisme pemilu. tidak setuju bukanlah berarti masyarakat tidak datang ke tempat pemungutan suara, melainkan memilih kolom tidak setuju yang disediakan dalam kertas pemilihan.

"Berbeda dengan Golput, tidak setuju kepada pasangan calon merupakan satu pilihan yang bisa saja dipilih oleh masyarakat, hal ini ditentukan oleh kompetensi  para pasangan calon juga dinilai dari bagaimana kinerja selama pasangan calon menjabat sebagai kepala daerah," terang Alwan.

Dengan mempertimbangkan suara tidak setuju, KPU dan Bawaslu sah-sah saja bila melakukan sosialisasi terkait pilihan masyarakat untuk tidak menyetujui pasangan calon yang tersedia.

Alwan menuturkan, karena KPU dan Bawaslu harus mampu mendongkrak angka partisipasi masyarakat dalam pilkada, maka sudah seharusnya mensosialisasikan kolom tidak setuju. tentu, hal ini memiliki resiko yang berdampak bagi masyarakat terkait apabila kolom tidak setuju yang memenangi pilkada, maka kepala daerah akan ditunjuk oleh Mendagri sebagai Pelaksana Tugas dalam mengemban posisi Kepala Daerah hingga pemilu selanjutnya.

"Sosialisasi kolom tidak setuju ini merupakan bukti dimana demokrasi tetap berjalan, dan akan menjadi dorongan bagi partai politik untuk terus mengembangkan sistem pengkaderan dengan meningkatkan kinerja partai dan kadernya, karena kecerdasan memilih ialah hak pemilih" tutup Alwan.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

test

Baca Juga

Recent Posts Widget

Menu Kantin

Pasang Iklan Kamu Di Sini

Recent Posts

recentposts

Popular Posts

Blog Archive

Kantin Iklan