Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
negara kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu poin
yang paling krusial dalam pembahasan UU Desa, adalah terkait alokasi anggaran
untuk desa, di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung
ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. Kemudian dipertimbangkan jumlah
penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi.
Hal ini dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, karena diperkirakan setiap
desa akan mendapatkan dana sekitar 1.4 miliar berdasarkan perhitungan dalam
penjelasan UU desa yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk
perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD
sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp.
104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se Indonesia.
Guna mengembangkan program
pembangunan yang merata, hingga meningkatkan ekonomi warga desa, dan mengikis tingkat
perpindahan warga desa ke kota. Tidak tanggung-tanggung, dana desa diprogramkan
sebesar satu milyar lebih per desa. Agar pemerintah dapat melakukan pengawasan
yang massif terhadap Anggaran Dana Desa, pemerintah membuat Aplikasi Sistem
Keuangan Desa atau yang dikenal dengan aplikasi SisKeuDes.
Akan tetapi, kurangnya SDM yang
memadai di desa, mengakibatkan program aplikasi ini tidak berjalan optimal,
sehingga system keuangan Anggaran Dana Desa berjalan secara manual.
Kelemahan system
keuangan manual tersebut, menggagalkan Wujud cita-cita pembangunan yang
merata hingga desa dengan bergulirnya program 1 Milyar per-desa mengalami
kendala. Kendala tersebut berupa sumber daya desa yang tidak menjalani program
desa berdasarkan anggaran yang telah dikucurkan oleh pemerintah, sehingga
mengakibatkan penyelewengan dana desa tersebut.
Terbukti, penangkapan
yang terjadi pada pertengahan tahun 2017 terhadap Bupati Pamekasan Achmad
Syafii, Inspektur Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Desa Dasok Agus Mulyadi,
Kepala Bagian Administrasi pada Inspektorat Noer Solehhoddin serta Kepala
Kejaksaan Negeri Pamekasan, Rudi Indra Prasetya, menjadi contoh nyata atas
kelemahan pengawasan anggaran dana desa sehingga mengakibatkan terjadinya
penyelewengan dana desa.
Wujud dari penyelewengan tersebut dikarenakan
system manual yang dijalankan untuk mencairkan dana desa dengan Panjangnya alur
birokrasi pencairan keuangan desa. Pencairan dana desa harus mampir dibeberapa
posisi birokrasi, karena Keuangan desa tidak langsung masuk kedalam Rekening
Kas Desa, melainkan masuk kedalam Kas Kabupaten/Kota, yang kemudian disalurkan
kepada desa. Panjangnya birokasi tersebut, sangat rentan sekali terhadap
kegiatan yang koruptif.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang diharapkan mampu melakukan pengawasan aktif, terkendala pada
batasan-batasan wewenang UU KPK, dikarenakan Kepala Desa menurut UU Aparatur
Sipil Negara bukanlah bagian daripada Pejabat Negara. Sehingga akhirnya,
regulasi pengawasan dana desa menjadi polemic bagi penegakkan hukum pengawasan
anggaran.
Maka, regulasi yang sangat
memungkinkan untuk mengawal dalam pelaksanaan system pengawasan hingga tingkat
desa ialah UU KIP. UU KIP menjadi satu-satunya regulasi yang mampu menjadi
payung hukum bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap Dana Desa.
Melalui Keterbukaan Informasi Publik, Penguatan pengawasan melalui UU KIP akan
dapat meminimlisir kegiatan koruptif yang dilakukan hingga tingkat desa.
Masyarakat harus bisa mendorong
keterbukaan informasi anggaran hingga tingkat desa. Dengan harapan, dana desa
yang terus bergulir, dapat terserap untuk meningkatkan kesejahteraan warga
desa.
0 komentar:
Posting Komentar