KantinPers, Jakarta – UU ITE yang kini ditengarai dapat membelenggu masyarakat dalam berpendapat, bahkan hingga merasuki ruang-ruang aplikasi chat berbasis internet, seperti Whatsapp, Line, dll, jelas mengganggu Hak pribadi setiap warga masyarakat Indonesia.
Di era keterbukaan informasi,
pemerintah malah justru menjadikan pemerintah yang tertutup, dan terkesan
Otoriter. Hal ini disampaikan oleh Adri Zulpianto, Direktur Kajian dan Riset
Lembaga Kaki Publik.
Adri menyatakan bahwa UU ITE tidak
dapat memberikan sanksi pidana terhadap setiap warga masyarakat terkait
pendapat-pendapat yang mengkritisi dan mengkaji pemerintah, “Jika melihat Pasal
28 ayat 2 UU ITE, pasal tersebut tidak dapat dijadikan rujukan bagi pemerintah
untuk menangkap, bahkan mempidanakan seseorang, jika hal tersebut terjadi,
jelas ini akan menjadi kontraproduktif terhadap penjaminan HAK setiap warga
Negara”, jelasnya.
Adri memaparkan bahwa yang dimaksud
dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE ialah, jika menjadikan perbedaan agama, perbedaan
suku, perbedaan ras, dan golongan, kemudian perbedaan-perbedaan tersebut
dijadikan bahan untuk membeci, mencela, bahkan menindas, hal inilah yang
kemudian bisa dijadikan rujukan untuk mempidanakan yang bersangkutan.
“kita sepakat betul jika perbedaan
dijadikan konten untuk menghembuskan kebencian ini harus dipidanakan”, terang
Adri. Akan tetapi, Adri menambahkan, “Pemerintah
ini kan menjadi keterwakilan masyarakat, untuk menjalankan system pemerintrahan,
kemudian diangkatlah mereka untuk mengisi kursi di pemerintahan. Terpilihnya mereka
menjadi pengisi kekuasaan inilah maka masyarakat berhak untuk mengkaji,
mengkritisi kinerja, dan berpendapat atas kinerja pemerintah! Apakah kinerja
yang menjadi objek pembicaraan kemudian menjadi isu SARA? Ini yang perlu
difahami bersama”, Tegas Adri.
Menurut Adri, perlu ada pemahaman
dalam membaca Undang-Undang ITE, jangan sampai pemahaman ini disalah artikan
oleh pihak-pihak tertentu untuk menafsirkan bahwa pemerintah sekarang adalah
wujud reinkarnasi daripada rezim Orba. “Orba dulu juga berjuang membangun
infrastruktur, yang salah kemudian adalah adanya para pemerhati pemerintah,
mengkritisi, namun kemudian ditangkap, hilang entah kemana,” Ujar Adri.
“jika memang pemerintrah merasa
kebijakan yang dikritisi oleh masyarakat luas merupakan bagian dari SARA, pertanyaan
selanjutnya adalah, apakah pemerintah kita ini berasal dari golongan yang
berbeda? Bukan berasal dari Indonesia? Bukankah kita Satu?”, pungkas Adri.
Diketahui bahwa Pasal 28 (2) UU ITE
menyatakan Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Menyusul Ancaman pidana dari pasal 28 (2) UU ITE diatur dalam
pasal 45 ayat 2 UU ITE yaitu Pidana penjara
paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 1 Milyar Rupiah
0 komentar:
Posting Komentar