Jakarta,
Kantidata.com - Pilkada
(Pemilihan Kepala Daerah) yang akan diselenggarakan secara serentak pada 2018
mendatang sebanyak 171 daerah salah satunya Provinsi NTT, tentunya menjadi
sebuah moment (kesempatan) yang tepat bagi seluruh masyarakat NTT
untuk menentukan dan memilih pasangan bakal calon (balon) kandidat secara tepat
sesuai hati nuraninya masing-masing. Artinya bahwa pasangan balon kandidat yang
dipilihnya itu benar-benar berjiwa membangun daerah dan masyarakatnya ke arah
yang lebih baik. Yakni ke arah perubahan yang lebih maju dari periode-periode
sebelumnya.
Untuk menyemarakkan
pilkada serentak itu, tak sedikit pasangan balon kandidat yang beramai-ramai
memperebutkan partai politik (parpol) yang bakal menjadi sebuah wadah yang akan
mengusungnya dalam pesta demokrasi yang akan diselenggarakan nanti. Dan tak
sedikit harta dan uang yang dikorbankan para balon kandidat untuk meperebutkan
parpol sebagai pengusungnya.
Menurut Imran Kopong
Solot selaku Ketua Pemuda Islam Adonara Solor (PIAS) Jakarta, organisasi kedaerahan asal NTT ini menerangkan kepada
Kantinpers, “tak jarang para kandidat juga melakukan money
politic untuk merangkul massa sebagai pendukungnya dengan cara
memberi bantuan kepada lembaga-lembaga tertentu menjelang pilkada, misalnya
lembaga agama. Selain itu mereka (para kandidat) juga melakukan pendekatan
lewat entitas (kesamaan) ras, agama, suku, maupun wilayah. Inilah yang sering
terjadi dalam pilkada-pilkada sebelumnya.”
“Tak jarang pula
masyarakat lebih memilih pasangan balon berdasarkan kesamaan ras, agama, suku
dan wilayah. Lebih buruknya lagi, para pasangan balon kandidat mengondisikan
para pemuda dengan membelikan minuman keras (miras) untuk melakukan
tindakan-tindakan anarkhis saat hari pemungutan suara berlangsung. Permainan
politik yang tidak sehat ini selalu saja menciptakan konflik bahkan kericuhan
di berbagai TPS (Tempat Pemungutan Suara).” Terangnya.
Kondisi ini mewarnai
dinamika politik di beberapa daerah di Indonesia yang akan melakukan pilkada
serentak. Walau parpol bertujuan untuk merebut dan menguasai kedudukan politik,
sudah sepantasnya parpol menjadi mitra masyarakat dengan menjadi sarana
sosialisasi politik dan pengatur konflik. Setidaknya parpol juga melakukan
berbagai kegiatan pemberdayaan untuk merangkul masyarakat.
Dirinya menambahkan
bahwa “selama periode yang berlalu, pembangunan tidak berjalan maju sebab tidak
ada komitmen dan kompromi antar para stakeholder untuk pembangunan di NTT yang
setara dengan kabupaten-kabupaten di Provinsi lain.”
“Karena tidak ada
komitmen dan kompromi bersama, maka para stakeholder berjalan masing-masing
alias mengejar kepentingannya sendiri. Disinilah muncul kecolongan untuk
bersatu membangun daerah. Yang ada hanyalah saling menjatuhkan, menganggap
dirinya lebih hebat dari yang lainnya.” Pungkasnya.
Pembangunan tidak
bergerak maju sebab tidak ada kesepakatan antara para stakeholder dan
masyarakat. Pemerintah mempertahankan pendapatnya sendiri, sementara masyarakat
pun mempertahankan pendapatnya. Nah, disinilah terjadi jurang pemisah antara
mereka sebab tidak ada kesepakatan lebih lanjut.
“Misalnya, ketika
pemerintah hendak membuat jalan, masyarakat meminta sejumlah uang (uang permisi
menurut versi masyarakat), akhirnya proyek pembuatan jalan itu tidak
dilanjutkan. Seharusnya, pemerintah dan masyarakat duduk bersama, saling
memberi pemahaman dan mengambil beberapa kesepakatan bersama sebagai pondasi
untukg memajukan daerah.”
“Melihat
carut-marutnya kondisi kepemimpinan daerah yang akan berlalu, PIAS Jakarta
berpendapat bahwa pemimpin daerah yang akan maju dan terpilih nanti harus lebih
baik dari yg sekrang dan selalu
memprioritaskan kepentingan masyarakat
NTT pada umumnya bukan memprioritaskan
kepentingan golongan dan
kepentingan partai. “ tegasnya.
“pemimpin yg baru
harus menjadikan NTT jauh lebih berkembang, bahwa apa yg suda di lakukan oleh pemimpin
saat ini tentu juga
mempunyai nilai-nilai kebaikan.” Tutupnya.
0 komentar:
Posting Komentar